Ganra, (Humas_Soppeng) – Terkait dengan usia kedewasaan dan kebolehan seorang perempuan untuk menikah, syaratnya dalam Bahasa Bugis dikatakan, “Narekko maccani duppa to poole nennia panguju tau lao”. Maknanya, pintar/pandai melayani dan menjamu tamu yang datang serta cakap mempersiapkan sarana dan prasarana sebelum keluarganya berangkat menjemput rezki, maka itulah salah satu indikasi kesiapan skill seorang perempuan untuk menikah. Skill tersebut akan dimanfaatkan untuk melayani suaminya dengan baik.
Demikian pula lihatlah hasil tenunannya. Dulu, profesi seorang perempuan umumnya menenun sarung. Nah, jika hasil tenunannya baik, maka sebagai pertanda keuletan dan kesabaran perempuan tersebut. Itulah salah satu hikmah, kenapa terdapat sarung yang ditempatkan di atas bantal saat acara tudang penni atau Mappacci.
Sedangkan dalam fikih global, usia perempuan untuk menikah adalah apabila telah akil baligh dan karena kita eksis di wilayah hukum Indonesia, maka yang diikuti adalah fikih Indonesia, yaitu umur 16 tahun ke atas bagi perempuan dan 19 tahun ke atas bagi Laki-laki.
Hal tersebut diusulkan lagi oleh Prof. Yohana Yambise, Menteri Pemberdayaan Perempuan, bahwa sebaiknya umur perempuan 20 tahun ke atas dan Laki-laki, 25 tahun ke atas, Hal ini sama dengan program BKKBN.
Hal tersebut diungkapkan Kepala Kantor Urusan Agama Kecamatan Marioriwawo, Dr. H. Andi Muhammad Akmal, S.Ag. M.HI saat memaparkan nasehat perkawinan pada pesta pernikahan pasangan Hj. Mujahidah, S. Farm. Apt. Binti H. Mahmud dengan A. Iskandar, SKM. Rabu 18 Mei 2016 di Ganra, Kec. Ganra Kabupaten Soppeng.
Turut Hadir dalam acara tersebut Kepala KUA Kec. Ganra, Muhlis, S.Ag. MH. Kepala MTs. Pontren Pergis Ganra, Muh. As’ad, S.Ag. (a.akm/afr)
Comments
Post a Comment